Duta Merek dan Ketidaksempurnaan : Studi Kasus Isyana Sarasvati

Assalamualaikum.

Pagi semua. Tulisan ini berangkat dari sebuah peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu, yaitu "blunder" yang dilakukan oleh Isyana Sarasvati berkaitan dengan merek-merek yang didutainya. Walaupun itu sudah terjadi agak lama, peristiwa ini tetap saya angkat untuk dibahas karena saya baru sempat membahasnya sekarang (hehe) dan banyak hal menarik yang dapat dijadikan pelajaran dari peristiwa ini.

Sumber : http://cdn0-a.production.liputan6.static6.com/thumbnails/911567/big/096322900_1435346408-medium_isyana-sarasvati-2-b97948.jpg

Anda mungkin sudah mengetahui kronologi peristiwa tersebut. Namun, saya akan menyampaikannya jika Anda belum mengetahuinya. Kejadian ini dimulai saat ada seorang warga internet (netizen) yang mengunggah foto berupa sebuah artikel di sebuah surat kabar yang menyatakan bahwa Isyana tidak pernah berbelanja daring (online) meskipun ia adalah duta produk sebuah toko online. Kontan saja, banyak netizen yang langsung memperbincangkan hal tersebut. Isyana merespons dengan sebuah cuitan (tweet) yang menyatakan bahwa ia selalu berbelanja online terutama di toko online yang didutainya. Namun, tweet tersebut kembali dipermasalahkan oleh netizen karena diketahui ia menulisnya menggunakan iPhone, padahal ia juga duta merek sebuah smartphone asal Tiongkok. Kontan saja, risakan (bully) yang ditujukan padanya semakin banyak karena ia melakukan "blunder" sebanyak dua kali di hari yang sama.

Dua hari setelahnya, Isyana melakukan klarifikasi secara panjang lebar melalui akun Twitter-nya. Namun, kejadian tersebut tentu akan membekas di pikiran beberapa orang (jika tidak mau dikatakan banyak). Mengapa? Karena itu terkait dengan tiga pertanyaan besar berikut ini.


1. Apa makna duta merek sebenarnya?

Kutipan berikut ini diambil dari Wikipedia (https://id.wikipedia.org/wiki/Duta_Merek).

Duta merek adalah istilah pemasaran untuk seseorang atau grup yang dipekerjakan dengan dikontrak oleh sebuah organisasi atau perusahaan untuk mempromosikan suatu merek dalam bentuk produk atau jasa.
Duta Merek dimaksudkan untuk mewujudkan identitas perusahaan dalam penampilan, sikap, nilai-nilai dan etika. Elemen kunci dari duta merek terletak pada kemampuan mereka untuk menggunakan strategi promosi yang akan memperkuat pelanggan dan mempengaruhi penonton untuk membeli suatu produk lebih banyak lagi.
Biasanya, seorang duta merek dikenal sebagai pembicara positif yang menunjukkan hal-hal positif dari suatu merek yang ditunjuk sebagai agen internal atau eksternal untuk menciptakan kenaikan dalam penjualan suatu merek berups [sic!] produk atau jasa.

Dari kutipan tersebut, dapat disimpulkan bahwa duta merek harus menunjukkan hal-hal positif dari suatu merek dan merepresentasikan semangat dan motivasi perusahaan yang memiliki merek tersebut. Duta merek juga diharapkan dapat meningkatkan nilai jual suatu merek tertentu. Oleh karena itu, duta merek diharapkan sering mempromosikan merek yang didutainya.

Nah, cermati kalimat kedua dari paragraf sebelumnya. Untuk meningkatkan nilai jual merek, apa yang dilakukan perusahaan pemilik merek terhadap duta merek mereka? Lalu, duta merek seperti apa yang dicari perusahaan pemilik merek sehingga merek mereka dapat meningkat nilai jualnya?

Ya, harus diakui bahwa banyak perusahaan pemilik merek yang merekrut seorang duta merek semata karena duta merek tersebut sedang naik daun saat ini. Ketika duta merek yang mereka rekrut tersaingi dengan keberadaan figur publik lain yang juga naik daun, mereka tidak segan-segan memberhentikan duta merek mereka yang sebelumnya. Mereka tidak memandang nilai-nilai dan karakter positif dari seorang duta merek saat merekrutnya. Padahal, hal itulah yang seharusnya dipertimbangkan untuk kemudian dipadukan dengan semangat dan motivasi perusahaan serta karakter dan keunggulan merek dari perusahaan tersebut.

Saya telah membaca beberapa artikel di internet terkait dengan "blunder" yang dilakukan Isyana. Secara keseluruhan, saya sependapat dengan para penulis artikel tersebut bahwa harus ada aturan yang ketat antara duta merek dan perusahaan pemilik merek sehingga "blunder" tersebut tidak terjadi. Misalnya, ia terikat aturan bahwa ia hanya boleh menyatakan hal-hal positif terkait merek yang didutainya (kalau perlu pada setiap kesempatan). Saya juga sependapat dengan mereka bahwa para pemilik merek sebaiknya merekrut duta merek yang "sejalur" dengan merek tersebut. Jadi, karena Isyana adalah seorang musisi, mungkin akan lebih baik kalau yang menjadikannya duta merek adalah perusahaan pembuat peralatan musik (seperti Cristiano Ronaldo dengan Nike).

Jadi, di titik ini, semua hal yang kita bahas mengenai duta merek hampir tercakup. Namun, masih ada dua pertanyaan yang menggelitik. Pertanyaan ini sangatlah mendasar ketika membahas tentang duta merek.


2. Apakah seorang duta merek harus selalu terikat dengan merek yang didutainya?

Banyak orang awam yang beranggapan bahwa duta merek harus selalu terasosiasi dengan merek yang didutainya, bahkan dalam kehidupan pribadinya. Jadi, ketika Afgan mengiklankan sebuah ponsel yang juga dapat berfungsi sebagai jam tangan, banyak orang beranggapan bahwa Afgan harus betul-betul memakainya sehari-hari. Benarkah harus seperti itu?

Sebenarnya, apakah seorang duta merek memakai atau tidak memakai produk dari merek yang didutainya bukanlah merupakan sebuah masalah. Mengapa? Karena perusahaan pemilik merek yang rasional juga akan menyadari bahwa tidak mungkin memaksakan sang duta merek untuk memakai produk-produk dari merek tersebut. Sang duta merek tentu memiliki kebebasan untuk menentukan barang-barang yang ia gunakan. Jika perusahaan pemilik merek dapat memaksa sang duta merek untuk menggunakan barang-barang bermerek hanya dari perusahaan tersebut, mereka pasti membayar lebih mahal atau menambahkan klausul tambahan pada kontrak antara perusahaan dengan duta merek (seperti kasus Mario Goetze yang memakai produk Nike sebagai individu sementara ia memakai produk Adidas sebagai pemain Bayern Muenchen).

Jadi, pada dasarnya ini adalah pilihan. Isyana mungkin saja memang menggunakan smartphone asal Tiongkok yang didutainya semata karena pilihannya sendiri. Sebaliknya, Isyana juga mungkin saja tidak menggunakan smartphone tersebut karena pilihannya sendiri pula. Jadi, seorang duta merek tidak harus selalu terikat dengan merek yang didutainya. Ada waktu ia harus terikat dengan merek tersebut (seperti saat peluncuran, promosi, dan pembuatan iklan produk) dan ada waktu ia tidak harus terikat dengan merek apapun (seperti saat ia menyampaikan klarifikasi terkait blunder tersebut di Twitter; ia menyatakan bahwa ia sering berbelanja online, tetapi ia tidak menyebutkan nama toko online tempatnya berbelanja). Setiap orang tentunya berhak memilih dalam hidupnya dan orang lain sebaiknya menghargai pilihan tersebut.

Kita sampai pada bagian ketiga dari tulisan ini. Bagian ini membahas tentang ekspektasi seseorang terhadap duta merek yang pada akhirnya berujung pada ketidaksempurnaan. Ya, ketidaksempurnaan adalah salah satu inti dari tulisan ini.


3. Seperti apa kita sebaiknya memandang duta merek?

Ya, pertanyaan ini layak diajukan kepada diri kita. Mungkin, banyak orang yang menganggap bahwa menjadi figur publik itu menyenangkan. Salah satu alasannya, karena figur publik akan memperoleh banyak uang dari perusahaan pemilik merek yang berebutan menjadikan sang figur publik sebagai duta merek. Hal itu mungkin benar di satu sisi. Namun, di sisi lain, figur publik yang menjadi duta merek tersebut tentu akan dibebani dengan kewajiban dari perusahaan pemilik merek. Selain itu, ia juga akan dibebani ekspektasi masyarakat bahwa sang duta merek akan sebaik dan sesempurna mungkin dalam menjalani kehidupannya. Hal itu tentu akan memengaruhi citra produk yang didutainya di mata masyarakat.

Padahal, para figur publik itu juga manusia biasa. Mereka tentu tidak sempurna. Walaupun mereka dituntut untuk mewakili hal-hal terkait merek yang didutainya, mereka tentu tidak akan selalu bisa melakukannya, Masih ingat kasus Isyana yang dituduh mengambil gambar melalui penelusuran gambar Google? Walaupun ia seorang duta merek terkait teknologi mutakhir, ternyata ia tetap melakukan kesalahan terkait teknologi (sebagai duta merek smartphone, Isyana tentu diharapkan menguasai hal-hal terkait teknologi).

Pada akhirnya, ketidaksempurnaan adalah keniscayaan. Walaupun banyak orang yang dapat menilai Isyana sebagai sosok yang mau belajar dan mencoba terutama terkait teknologi (seperti membuat vlog), tetap ada celah-celah ketidaksempurnaan yang dapat dijumpai. Kita tentu tidak dapat menuntut seorang untuk menjadi sempurna karena diri kita juga tidaklah sempurna. Salah satu hal yang dapat kita lakukan untuk mengatasi ketidaksempurnaan kita adalah menjadikan ketidaksempurnaan tersebut sebagai suatu energi positif dalam menjalani kehidupan. Ketidaksempurnaan bukanlah hambatan, melainkan tantangan. Ketidaksempurnaanlah yang menjadikan diri kita benar-benar seorang manusia, seperti kutipan berikut (dikutip dari cerita The Scar karangan Joanna Stan dalam buku A Second Chicken Soup for the Woman's Soul : More Stories to Open the Hearts and Rekindle the Spirits of Women, 1996):

"I think to myself how every remarkable woman has an imperfection, and I believe that imperfection makes her beauty more remarkable because it assures us she is human."

Saya sengaja memilih kutipan di atas karena yang sedang kita bicarakan adalah seorang wanita (hehe). Namun, baik wanita maupun pria sama-sama memiliki ketidaksempurnaan. Keberadaan kita yang tidak sempurna di dunia ini adalah salah satu bentuk penyadaran diri kita oleh Allah SWT bahwa yang sempurna hanyalah Allah dan kesempurnaan hanyalah milik-Nya. Jadi, syukurilah segala yang ada pada diri kita dan jangan pernah merasa kekurangan.


Wassalamualaikum.

Dramaga, 8 Juni 2016

Komentar